Kamis, 21 Agustus 2014

Kasus Marsinah


Marsinah adalah ikon buruh perempuan yang menjadi korban kekerasan aparat militer dalam catatan sejarah perburuhan di Indonesia. Ia ditemukan mati secara mengenaskan pada 8 Mei 1993 dalam usia 24 tahun setelah “hilang” selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Hasil otopsi yang dilakukan RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, menyebutkan bahwa    penyebab kematiannya diakibatkan penganiayaan berat terhadap dirinya.
Marsinah bekerja sejak tamat SMA. Tuntutan hidup menyebabkannya melepas cita-cita melanjutkan studi di Fakultas Hukum. Ia berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik tempatnya bekerja. Sebagai buruh, Marsinah harus beberapa kali pindah tempat kerja dari satu pabrik ke pabrik satunya. Gajinya jauh dari cukup. Pada 1990 ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) Rungkut, Surabaya. Di tempat inilah nalar kritik Marsinah mulai muncul. Ia tidak pernah menjadi anggota aktivis buruh. Bersama teman-temannya, Marsinah menuntut pembentukan unit serikat pekerja formal (SPSI). Keterlibatannya dalam aksi itu menjadikan alasan pemindahannya ke pabrik PT CPS di Porong, Sidoarjo pada 1992.
Di Sidoarjo ia aktif membela hak buruhyang terlibat pemogokan. Ia mengirim surat ke pihak perusahaan atas pemanggilan oleh pihak Kodim yang berujung pemecatan secara paksa terhadap 11 orang buruh. Ia berencana mengadukan kasus itu kepada pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya. Tetapi rencananya tidak sempat terwujud karena pembunuhan terhadap dirinya.
Kematian Marsinah meninggalkan misteri. Yudi Susanto sebagai pemilik perusahaan tempat Marsinah  bekerja dan beberapa orang staf yang dituduh membunuhnya, divonis bebas murni dari hukuman oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung. Hasil penyidikan menyebutkan bahwa tiga hari sebelum dinyatakan tewas, Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang ditahan pihak Kodim.
Sekitar pukul 10 malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah “hilang” sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tewas. Hingga kini belum ada upaya serius untuk membongkar kematian Marsinah.
Kasus Marsinah menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Kasus yang menimpa Marsinah ini kemudian kembali terjadi di tahun 1997 yang menimpa seorang wartawan Harian Bernas bernama Fuad M. Syarifuddin alias Udin. Pada 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Yap Tiam Hiem Award.
Keadilan masih temaram dalam kasus Marsinah.