Rabu, 01 Oktober 2014
BUDIMAN SUDJATMIKO
Budiman Sudjatmiko, pria kelahiran Cilacap 10 Maret 1970 ini mulai terlibat dalam gerakan mahasiswa sejak duduk di bangku kuliah. Selama 4 tahun ia menjadi community organizer yang bertugas melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Budiman di dalam melakukan kegiatannya sering secara gerilya karena tingginya resistensi dan tekanan dari pihak militer dan pemerintah. Ketika Budiman menjalankan kegiatan organisasi bawah tanahnya, ia masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sejak awal, PRD mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru. Karena kegiatannya yang sering membahayakan posisi pemerintah, putra sulung pasangan Warsono dan Sri Sulastri ini pernah dianggap sebagai "the most dangerous person in this country" dan memperoleh stigma sebagai "the public enemy number one". Sejak saat itu, banyak anggota PRD dan orang-orang yang berafiliasi dengannya menerima teror dan tekanan. Tidak sedikit pula dari mereka yang ditahan tanpa alasan yang jelas. Bahkan disebut, ada yang diculik dan disiksa secara fisik dan diteror secara mental.
Tanggal 22 Juli 1996, PRD mengeluarkan manifesto perlawanan terhadap kekuatan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru. Manifesto perlawanan 22 Juli 1996 tersebut di antaranya secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Presiden Soeharto. Kondisi politik yang dikritik adalah model pemerintahan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru yang jauh dari sistem demokratis. Sementara kondisi sosial-ekonomi yang dikritik adalah kesenjangan sosial akibat kebijakan berorientasi pertumbuhan, dengan melupakan pemerataan dan distribusi yang adil.
Di samping itu, Manifesto ini juga menyinggung-nyinggung masalah korupsi dan kolusi yang menjamur di birokrasi pemerintahan. Di usia awalnya itu pula, partai ini mulai membela dan mengadvokasi petani-petani pedesaan dalam membela hak atas tanah. Urusan ini, secara umum ditangani oleh STN (Serikat Tani Nasional), underbouw PRD. Mobilisasi massa untuk demonstrasi dan protes pun tak jarang terjadi, yang tak hanya melibatkan petani, tetapi juga buruh, LSM, dan Lihat Daftar Aktivis
Aktivis dari organisasi lain.
Di samping mengadvokasi dan mengorganisasi petani dan buruh, salah satu tindakan PRD yang membuat pemerintah Orde Baru semakin kebakaran jenggot adalah pernyataan dukungan PRD yang diberikan pada gerakan kemerdekaan Timor Timur.
Nama Anggota DPR (2009-2014) dari PDI-P
Budiman Sudjatmiko mulai dikenal secara luas oleh publik pada tahun 1996, saat ia mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang berhaluan sosialis-demokrat. Oleh sebab itu, partai ini juga sering disebut sebagai partai yang mengusung gerakan komunis. Pendirian PRD diprakarsai oleh sejumlah intelektual dan Lihat Daftar Aktivis
Aktivis muda termasuk mahasiswa. Di organisasi ini, Budiman Sujatmiko terpilih sebagai ketua.
Sejak 1997, karena popularitas PRD yang semakin meningkat, dan juga kondisi sosial-ekonomi serta politik yang mulai tidak stabil, rezim Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Soeharto mulai melakukan penindasan terhadap berbagai gerakan politis yang dianggap subversif, apalagi yang dianggap kekiri-kirian atau komunis. Salah satu korbannya termasuk PRD.
Ketika terjadi insiden perebutan paksa kantor DPP PDI di jalan Ulama, Pejuang perang paderi
Imam Bonjol, Jakarta pada 27 Juli 1996 antara kubu PDI Pro Presiden Republik Indonesia Kelima (2001-2004)
Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi, nama Budiman Sujatmiko sebagai ketua PRD saat itu ikut terseret. Ia merupakan orang pertama
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru
HERMAN HENDRAWAN
Sama dengan Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan adalah mahasiswa FISIP Unair Surabaya. Pria kelahiran Pangkal Pinang 29 Mei 1971 ini hilang usai konferensi pers Komite Nasional Penyelamat Demokrasi (KNPD) di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 12 Maret 1998.
Sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Herman dikenal berani menentang rezim Soeharto. Demi memperjuangkan keadilan lewat cita-cita sosialisme di negerinya, Herman memutuskan memilih jalur pergerakan dan meninggalkan bangku kuliah. Di jalan terjal yang dipilihnya itu, Herman akhirnya 'dihilangkan' dan belum atau mungkin tak akan kembali.
Namun ad juga yang mengatakan bahwa ia masih hidup dan dalam keadaan sehat. Untuk info yang lebih lengkap silahkan klik website ini http://www.kontras.org/penculikan/index.php?hal=berita&id=170
Rabu, 17 September 2014
BIMO PETRUS
Bagi orang yang mengenalnya dengan baik, Bima Petrus adalah sosok yang riang dan suka musik. Kesukaannya pada musik ternyata tidak membuatnya jauh dari panggilan nurani untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang mengalami penindasan.
Musik,oleh Bima dijadikan alat perjuangan. Bersama rekan-rekannya, Bima turun ke jalan menggunakan musik sebagai senjata perjuangan. Tidak ada perasaan rikuh saat Bima bernyanyi ditengah pasar yang riuh, becek dan penuh bau yang menyengat.
Lirik lagu yang menggugah hati dilantunkan dengan lantang. Rekan-rekan Bima yang bergabung dalam kelompok musik Lontar telah kenyang dengan bentrokan dengan aparat yang mereka peroleh saat menyanyi dari satu pasar ke pasar lainnya dan dari satu lokasi demo ke lokasi demo lainnya.
Kepekaannya terhadap nasib wong cilik ternyata telah terasah sejak usia masih kanak-kanak Aktifitasnya sebagai misdinar (anak altar) dan mudika di gereja Katholik Rosari Kesatrian, Malang mengasah hati nuraninya untuk berpihak pada rakyat kecil.
Sejak menjadi siswa SMA St.Albertus, Malang, Bima Petrus sudah terjun menjadi aktifis OSIS di sekolah yang oleh orang Malang dikenal dengan nama SMA Dempo itu.
Ketika diterima menjadi mahasiswa Program Studi Komunikasi Fisip Unair pada tahun 1993, panggilan untuk berpihak pada orang kecil itu semakin terasah saat Bima bertemu dengan Herman Hendrawan dkk, yang adalah seniornya di kampus Fisip Unair. Herman Hendrawan dikemudian hari bersama Bima Petrus menjadi korban penculikan.
Perjumpaan itu membuat Bima menjadi aktifis. Bermula menjadi anggota Kelompok Belajar Mentari (KBM), Bima lantas menjadi Aktifis SMID (Solidaritas Mahasiwa Indonesia untuk Demokrasi). Selanjutnya, Bima Petrus menjadi aktifis Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).
Pada bulan Maret tahun 1997, Bima Petrus memutuskan untuk terus berjuang dengan bersedia untuk berangkat ke Jakarta, membantu teman-temannya menyusun pergerakan untuk menjatuhkan Soeharto.
Keberaniannya berjuangan ternyata menggusarkan aparat keamanan. Pada bulan Maret itu pula, Bima ditangkap Polisi dan ditahan di Polda Metro Jaya. Selama di tahan, Bima Petrus masih sempat berkirim surat dan menghubungi teman-teman dan keluarga via telepon.
Tidak berapa lama kemudian, Bima Petrus bersama teman-teman lainnya yang ikut tertangkap dilepas dan dijadikan tahanan luar dengan kewajiban melaporkan diri.
Saat menjadi tahanan luar itu, Bima Petrus sempat lima hari tinggal di Malang dan kemudian segera kembali ke Jakarta.
Setelah itu, Bima tidak menghubungi keluarganya sama sekali. Baru pada antara bulan November-Desember Bima sempat kontak ke rumah orang tuanya di Malang dan menyatakan keinginannya untuk bernatal di Malang.
Namun tidak beberapa lama kemudian, Bima menghubungi keluarga kembali dan mengatakan tidak dapat kembali karena sibuk. Bima berjanji akan pulang pada perayaan Paskah Pada tahun 1998.
Pada awal bulan Maret 1998, Bima menghubungi keluarganya kembali dan mengatakan tidak dapat pulang pada perayaan paskah pada bulan April. Pertengahan bulan Maret, Bima menelepon lagi dan dengan nada riang ia mengatakan akan pulang pada perayaan paskah.
Tapi, hingga tanggal 1 April 1998, Bima tidak muncul juga. Sejak itu, kedua orang tua Bima mulai cemas dan berupaya mencari keberadaannya. Kantor Polda Mentro Jaya pun di kunjungi tapi hasil nihil. Bima tidak ada di sana.
Kedua orang tua Bima pun melaporkan hilangnya Bima ke Komnas HAM. Merekapun sempat menanyakan keberadaan Bima Petrus ke Puspom ABRI, namun jawaban yang sama diperoleh. Bima Petrus tidak ada di sana.
Rabu, 03 September 2014
WIJI THUKUL
Wiji Thukul Wijaya adalah seorang aktivis dan seniman yang lahir di Solo 24 Agustus 1963 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, tinggal di sebuah perkampungan miskin di Solo yang mayoritas orangnya bekerja sebagai buruh, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang bekerja serabutan, yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penguasa. Bapaknya sendiri bekerja sebagai pengemudi becak. Thukul sendiri adalah seorang yang bekerja serabutan. Pernah bekerja sebagai loper Koran, calo karcis bioskop dan menjadi tukang pelitur di perusahaan mebel.
Aktif berkesinambungan mulai sejak SMP ketika bergabung dengan Sanggar Teater Jagat. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo jurusan tari sampai kelas dua dan pada 1980 terpaksa harus berhenti sekolah lantaran kesulitan uang.
Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo Lantas, darimana nama Wiji Thukul bermula disematkan? Wahyu Susilo, adik Thukul, yang kini menjadi analis kebijakan di Migrant Care mengisahkannya. Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Menurut Wahyu, tak banyak orang tahu kakaknya itu cukup luwes jika menari. Sampai bersekolah di SMKI itu, Thukul masih aktif di kapel.
Suatu ketika, menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertema kelahiran Kristus. Oleh seorang pemain teater, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh penyair W.S. Rendra. Thukul kemudian masuk menjadi anggota Teater Jagat. Di situlah Lawu kemudian mentabalkan nama Thukul. Nama asli Thukul sesungguhnya adalah Wiji Widodo.
Namun, Lawu menghilangkan nama Widodo dan diganti dengan Thukul. Wiji Thukul artinya Biji Tumbuh. Setelah bernama Wiji Thukul, Thukul sempat menambahkan nama Wijaya di belakangnya menjadi Wiji Thukul Wijaya. Tapi kemudian ia membuangnya karena sering diledek teman-temannya sebagai nama borjuis.
Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan.
Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta puisinya juga pernah dibacakan di Radio PTPN Solo.
Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, seperti dimuat di Muiara, NOVA, Swadesi, Inside Indonesia dan Suara Merdeka. Pergumulannya dengan kesenian kerakyatan semakin mendalam ketika mulai mengembangkan aktivitas kesenian di kampung bersama teman-temannya yang kebanyakan kaum buruh. Dia mulai membaca puisi bukan hanya digedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di bis kota, kampung bahkan di aksi-aksi massa.
Kumpulan puisi yang sempat diterbitkan alah “Darman” dan “Mencari Tanah Lapang”. Karya puisinya yang terkenal adalah yang berjudul “Peringatan” yang pada akhir bait puisi berteriaak : ” hanya ada satu kata: Lawan!”
Pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”
Sebagai seniman yang dibesarkan di kampung, Thukul bersama kawan-kawannya membangun kolektif kesenian kampong yang bernama “Sanggar Suka Banjir”. Kelompok inilah yang mengkspresikan problem-problem rakyat yang teal. Dari sini pula Thukul mulai terlibat dalam aksi-aksi melawan ketidakadilan dan penindasan.
Represi aparat mulai dirasakan ketika Thukul bersama rakyat di kampungnya memprotes pencemaran yang dilakukan oleh pabrik tekstil tersebut. Dalam aksi ini Thukul sempat ditangkap dan dijemur oleh aparat Polresta Surakarta. Namun tepresi ini tak menyurutkan langkahnya.
Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer. Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex.
Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai “orang hilang”, korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.
Pada tanggal 24 Maret 2000 Kontras telah menerima laporan dari keluarga korban Wiji Thukul atau hilangnya aktivis sekaligus penyair Wiji Thukul. Hari-hari sebelum Fitri bulan Februari 1998. informasi terakhir sekitar bulan April-Maret 1998, Wiji Thukul sempat bertemu temannya tetapi sejak saat itu hingga sekarang (selama 2 tahun ini), Wiji Thukul hilang.
Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 diduga kuat berkaitan dengan aktivitas yang dilakukkan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan ole rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan diseluruh wilayah Indonesia. Kita mencatat dalam berbagai operasi, rezim Orde Baru juga melakukan penculikan terhadap para aktivis (22 orang) yang hingga saat ini 13 orang belum kembali.
Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM.
JANGAN KAU PENJARAKAN UCAPANMU!
Kamis, 21 Agustus 2014
Kasus Marsinah
Marsinah adalah ikon buruh perempuan yang menjadi korban kekerasan aparat militer dalam catatan sejarah perburuhan di Indonesia. Ia ditemukan mati secara mengenaskan pada 8 Mei 1993 dalam usia 24 tahun setelah “hilang” selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Hasil otopsi yang dilakukan RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, menyebutkan bahwa penyebab kematiannya diakibatkan penganiayaan berat terhadap dirinya.
Marsinah bekerja sejak tamat SMA. Tuntutan hidup menyebabkannya melepas cita-cita melanjutkan studi di Fakultas Hukum. Ia berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik tempatnya bekerja. Sebagai buruh, Marsinah harus beberapa kali pindah tempat kerja dari satu pabrik ke pabrik satunya. Gajinya jauh dari cukup. Pada 1990 ia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS) Rungkut, Surabaya. Di tempat inilah nalar kritik Marsinah mulai muncul. Ia tidak pernah menjadi anggota aktivis buruh. Bersama teman-temannya, Marsinah menuntut pembentukan unit serikat pekerja formal (SPSI). Keterlibatannya dalam aksi itu menjadikan alasan pemindahannya ke pabrik PT CPS di Porong, Sidoarjo pada 1992.
Di Sidoarjo ia aktif membela hak buruhyang terlibat pemogokan. Ia mengirim surat ke pihak perusahaan atas pemanggilan oleh pihak Kodim yang berujung pemecatan secara paksa terhadap 11 orang buruh. Ia berencana mengadukan kasus itu kepada pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya. Tetapi rencananya tidak sempat terwujud karena pembunuhan terhadap dirinya.
Kematian Marsinah meninggalkan misteri. Yudi Susanto sebagai pemilik perusahaan tempat Marsinah bekerja dan beberapa orang staf yang dituduh membunuhnya, divonis bebas murni dari hukuman oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung. Hasil penyidikan menyebutkan bahwa tiga hari sebelum dinyatakan tewas, Marsinah sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang ditahan pihak Kodim.
Sekitar pukul 10 malam tanggal 6 Mei 1993, Marsinah “hilang” sampai kemudian ditemukan dalam keadaan tewas. Hingga kini belum ada upaya serius untuk membongkar kematian Marsinah.
Kasus Marsinah menjadi salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Kasus yang menimpa Marsinah ini kemudian kembali terjadi di tahun 1997 yang menimpa seorang wartawan Harian Bernas bernama Fuad M. Syarifuddin alias Udin. Pada 1993 Yayasan Pusat Hak Asasi Manusia menganugerahinya Yap Tiam Hiem Award.
Keadilan masih temaram dalam kasus Marsinah.
Langganan:
Postingan (Atom)