Rabu, 03 September 2014

WIJI THUKUL


Wiji Thukul Wijaya adalah seorang aktivis dan seniman yang lahir di Solo 24 Agustus 1963 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, tinggal di sebuah perkampungan miskin di Solo yang mayoritas orangnya bekerja sebagai buruh, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang bekerja serabutan, yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penguasa. Bapaknya sendiri bekerja sebagai pengemudi becak. Thukul sendiri adalah seorang yang bekerja serabutan. Pernah bekerja sebagai loper Koran, calo karcis bioskop dan menjadi tukang pelitur di perusahaan mebel.

Aktif berkesinambungan mulai sejak SMP ketika bergabung dengan Sanggar Teater Jagat. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo jurusan tari sampai kelas dua dan pada 1980 terpaksa harus berhenti sekolah lantaran kesulitan uang.

Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo Lantas, darimana nama Wiji Thukul bermula disematkan? Wahyu Susilo, adik Thukul, yang kini menjadi analis kebijakan di Migrant Care mengisahkannya. Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Menurut Wahyu, tak banyak orang tahu kakaknya itu cukup luwes jika menari. Sampai bersekolah di SMKI itu, Thukul masih aktif di kapel.

Suatu ketika, menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertema kelahiran Kristus. Oleh seorang pemain teater, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh penyair W.S. Rendra. Thukul kemudian masuk menjadi anggota Teater Jagat. Di situlah Lawu kemudian mentabalkan nama Thukul. Nama asli Thukul sesungguhnya adalah Wiji Widodo.

Namun, Lawu menghilangkan nama Widodo dan diganti dengan Thukul. Wiji Thukul artinya Biji Tumbuh. Setelah bernama Wiji Thukul, Thukul sempat menambahkan nama Wijaya di belakangnya menjadi Wiji Thukul Wijaya. Tapi kemudian ia membuangnya karena sering diledek teman-temannya sebagai nama borjuis.

Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung.

Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan.

Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta puisinya juga pernah dibacakan di Radio PTPN Solo.

Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, seperti dimuat di Muiara, NOVA, Swadesi, Inside Indonesia dan Suara Merdeka. Pergumulannya dengan kesenian kerakyatan semakin mendalam ketika mulai mengembangkan aktivitas kesenian di kampung bersama teman-temannya yang kebanyakan kaum buruh. Dia mulai membaca puisi bukan hanya digedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di bis kota, kampung bahkan di aksi-aksi massa.

Kumpulan puisi yang sempat diterbitkan alah “Darman” dan “Mencari Tanah Lapang”. Karya puisinya yang terkenal adalah yang berjudul “Peringatan” yang pada akhir bait puisi berteriaak : ” hanya ada satu kata: Lawan!”

Pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”

Sebagai seniman yang dibesarkan di kampung, Thukul bersama kawan-kawannya membangun kolektif kesenian kampong yang bernama “Sanggar Suka Banjir”. Kelompok inilah yang mengkspresikan problem-problem rakyat yang teal. Dari sini pula Thukul mulai terlibat dalam aksi-aksi melawan ketidakadilan dan penindasan.

Represi aparat mulai dirasakan ketika Thukul bersama rakyat di kampungnya memprotes pencemaran yang dilakukan oleh pabrik tekstil tersebut. Dalam aksi ini Thukul sempat ditangkap dan dijemur oleh aparat Polresta Surakarta. Namun tepresi ini tak menyurutkan langkahnya.

Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.

Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer. Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex.

Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai “orang hilang”, korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.

Pada tanggal 24 Maret 2000 Kontras telah menerima laporan dari keluarga korban Wiji Thukul atau hilangnya aktivis sekaligus penyair Wiji Thukul. Hari-hari sebelum Fitri bulan Februari 1998. informasi terakhir sekitar bulan April-Maret 1998, Wiji Thukul sempat bertemu temannya tetapi sejak saat itu hingga sekarang (selama 2 tahun ini), Wiji Thukul hilang.

Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 diduga kuat berkaitan dengan aktivitas yang dilakukkan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan ole rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan diseluruh wilayah Indonesia. Kita mencatat dalam berbagai operasi, rezim Orde Baru juga melakukan penculikan terhadap para aktivis (22 orang) yang hingga saat ini 13 orang belum kembali.

Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM.

  JANGAN KAU PENJARAKAN UCAPANMU!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar