WIJI THUKUL
Wiji Thukul Wijaya adalah seorang aktivis dan seniman yang lahir di
Solo 24 Agustus 1963 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, tinggal
di sebuah perkampungan miskin di Solo yang mayoritas orangnya bekerja
sebagai buruh, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang bekerja
serabutan, yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penguasa.
Bapaknya sendiri bekerja sebagai pengemudi becak. Thukul sendiri adalah
seorang yang bekerja serabutan. Pernah bekerja sebagai loper Koran, calo
karcis bioskop dan menjadi tukang pelitur di perusahaan mebel.
Aktif berkesinambungan mulai sejak SMP ketika bergabung dengan
Sanggar Teater Jagat. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia
belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo jurusan tari
sampai kelas dua dan pada 1980 terpaksa harus berhenti sekolah lantaran
kesulitan uang.
Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo Lantas, darimana nama Wiji
Thukul bermula disematkan? Wahyu Susilo, adik Thukul, yang kini menjadi
analis kebijakan di Migrant Care mengisahkannya. Lulus dari SMP Negeri 8
Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo,
jurusan tari. Menurut Wahyu, tak banyak orang tahu kakaknya itu cukup
luwes jika menari. Sampai bersekolah di SMKI itu, Thukul masih aktif di
kapel.
Suatu ketika, menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan
teater bertema kelahiran Kristus. Oleh seorang pemain teater, Thukul
diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang
diasuh penyair W.S. Rendra. Thukul kemudian masuk menjadi anggota Teater
Jagat. Di situlah Lawu kemudian mentabalkan nama Thukul. Nama asli
Thukul sesungguhnya adalah Wiji Widodo.
Namun, Lawu menghilangkan nama Widodo dan diganti dengan Thukul. Wiji
Thukul artinya Biji Tumbuh. Setelah bernama Wiji Thukul, Thukul sempat
menambahkan nama Wijaya di belakangnya menjadi Wiji Thukul Wijaya. Tapi
kemudian ia membuangnya karena sering diledek teman-temannya sebagai
nama borjuis.
Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar
penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai
menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi
para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenirpun telah
menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para
penghuni kampung.
Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui
berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang
semir mebel, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi
secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik
gamelan.
Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah
sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di
Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta puisinya juga
pernah dibacakan di Radio PTPN Solo.
Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat
kabar, seperti dimuat di Muiara, NOVA, Swadesi, Inside Indonesia dan
Suara Merdeka. Pergumulannya dengan kesenian kerakyatan semakin mendalam
ketika mulai mengembangkan aktivitas kesenian di kampung bersama
teman-temannya yang kebanyakan kaum buruh. Dia mulai membaca puisi bukan
hanya digedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di bis kota,
kampung bahkan di aksi-aksi massa.
Kumpulan puisi yang sempat diterbitkan alah “Darman” dan “Mencari
Tanah Lapang”. Karya puisinya yang terkenal adalah yang berjudul
“Peringatan” yang pada akhir bait puisi berteriaak : ” hanya ada satu
kata: Lawan!”
Pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan
dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya
Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun
muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya
sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku
sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian
resmi.”
Sebagai seniman yang dibesarkan di kampung, Thukul bersama
kawan-kawannya membangun kolektif kesenian kampong yang bernama “Sanggar
Suka Banjir”. Kelompok inilah yang mengkspresikan problem-problem
rakyat yang teal. Dari sini pula Thukul mulai terlibat dalam aksi-aksi
melawan ketidakadilan dan penindasan.
Represi aparat mulai dirasakan ketika Thukul bersama rakyat di
kampungnya memprotes pencemaran yang dilakukan oleh pabrik tekstil
tersebut. Dalam aksi ini Thukul sempat ditangkap dan dijemur oleh aparat
Polresta Surakarta. Namun tepresi ini tak menyurutkan langkahnya.
Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER)
yang menjadi anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai
independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai
oposisi rezim Orde Baru.
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan
melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya
tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul
yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli
militer. Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat
kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex.
Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai
biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama
anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan
rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak
diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai “orang hilang”,
korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.
Pada tanggal 24 Maret 2000 Kontras telah menerima laporan dari
keluarga korban Wiji Thukul atau hilangnya aktivis sekaligus penyair
Wiji Thukul. Hari-hari sebelum Fitri bulan Februari 1998. informasi
terakhir sekitar bulan April-Maret 1998, Wiji Thukul sempat bertemu
temannya tetapi sejak saat itu hingga sekarang (selama 2 tahun ini),
Wiji Thukul hilang.
Hilangnya Wiji Thukul pada sekitar Maret 1998 diduga kuat berkaitan
dengan aktivitas yang dilakukkan oleh yang bersangkutan. Saat itu
bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan ole rezim
Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan
dengan Orde Baru. Operasi pembersihan tersebut hampir merata dilakukan
diseluruh wilayah Indonesia. Kita mencatat dalam berbagai operasi, rezim
Orde Baru juga melakukan penculikan terhadap para aktivis (22 orang)
yang hingga saat ini 13 orang belum kembali.
Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM.
JANGAN KAU PENJARAKAN UCAPANMU!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar