Bagi orang yang mengenalnya dengan baik, Bima Petrus adalah sosok yang riang dan suka musik. Kesukaannya pada musik ternyata tidak membuatnya jauh dari panggilan nurani untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang mengalami penindasan.
Musik,oleh Bima dijadikan alat perjuangan. Bersama rekan-rekannya, Bima turun ke jalan menggunakan musik sebagai senjata perjuangan. Tidak ada perasaan rikuh saat Bima bernyanyi ditengah pasar yang riuh, becek dan penuh bau yang menyengat.
Lirik lagu yang menggugah hati dilantunkan dengan lantang. Rekan-rekan Bima yang bergabung dalam kelompok musik Lontar telah kenyang dengan bentrokan dengan aparat yang mereka peroleh saat menyanyi dari satu pasar ke pasar lainnya dan dari satu lokasi demo ke lokasi demo lainnya.
Kepekaannya terhadap nasib wong cilik ternyata telah terasah sejak usia masih kanak-kanak Aktifitasnya sebagai misdinar (anak altar) dan mudika di gereja Katholik Rosari Kesatrian, Malang mengasah hati nuraninya untuk berpihak pada rakyat kecil.
Sejak menjadi siswa SMA St.Albertus, Malang, Bima Petrus sudah terjun menjadi aktifis OSIS di sekolah yang oleh orang Malang dikenal dengan nama SMA Dempo itu.
Ketika diterima menjadi mahasiswa Program Studi Komunikasi Fisip Unair pada tahun 1993, panggilan untuk berpihak pada orang kecil itu semakin terasah saat Bima bertemu dengan Herman Hendrawan dkk, yang adalah seniornya di kampus Fisip Unair. Herman Hendrawan dikemudian hari bersama Bima Petrus menjadi korban penculikan.
Perjumpaan itu membuat Bima menjadi aktifis. Bermula menjadi anggota Kelompok Belajar Mentari (KBM), Bima lantas menjadi Aktifis SMID (Solidaritas Mahasiwa Indonesia untuk Demokrasi). Selanjutnya, Bima Petrus menjadi aktifis Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).
Pada bulan Maret tahun 1997, Bima Petrus memutuskan untuk terus berjuang dengan bersedia untuk berangkat ke Jakarta, membantu teman-temannya menyusun pergerakan untuk menjatuhkan Soeharto.
Keberaniannya berjuangan ternyata menggusarkan aparat keamanan. Pada bulan Maret itu pula, Bima ditangkap Polisi dan ditahan di Polda Metro Jaya. Selama di tahan, Bima Petrus masih sempat berkirim surat dan menghubungi teman-teman dan keluarga via telepon.
Tidak berapa lama kemudian, Bima Petrus bersama teman-teman lainnya yang ikut tertangkap dilepas dan dijadikan tahanan luar dengan kewajiban melaporkan diri.
Saat menjadi tahanan luar itu, Bima Petrus sempat lima hari tinggal di Malang dan kemudian segera kembali ke Jakarta.
Setelah itu, Bima tidak menghubungi keluarganya sama sekali. Baru pada antara bulan November-Desember Bima sempat kontak ke rumah orang tuanya di Malang dan menyatakan keinginannya untuk bernatal di Malang.
Namun tidak beberapa lama kemudian, Bima menghubungi keluarga kembali dan mengatakan tidak dapat kembali karena sibuk. Bima berjanji akan pulang pada perayaan Paskah Pada tahun 1998.
Pada awal bulan Maret 1998, Bima menghubungi keluarganya kembali dan mengatakan tidak dapat pulang pada perayaan paskah pada bulan April. Pertengahan bulan Maret, Bima menelepon lagi dan dengan nada riang ia mengatakan akan pulang pada perayaan paskah.
Tapi, hingga tanggal 1 April 1998, Bima tidak muncul juga. Sejak itu, kedua orang tua Bima mulai cemas dan berupaya mencari keberadaannya. Kantor Polda Mentro Jaya pun di kunjungi tapi hasil nihil. Bima tidak ada di sana.
Kedua orang tua Bima pun melaporkan hilangnya Bima ke Komnas HAM. Merekapun sempat menanyakan keberadaan Bima Petrus ke Puspom ABRI, namun jawaban yang sama diperoleh. Bima Petrus tidak ada di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar